Minggu, 05 Desember 2010

RELASI KOMUNIKATIF VERBAL ANTARA AL-QUR’AN DENGAN AHL AL-KITÂB



RELASI KOMUNIKATIF VERBAL
ANTARA AL-QUR’AN DENGAN AHL AL-KITÂB·
(Kajian Semantik)
Oleh: Drs. H. M. Habib Syakur, M.Ag.··

A. Mukaddimah
Relasi komunikatif antara Tuhan dengan manusia bisa terjadi secara verbal dan non-verbal. Komunikasi non-verbal antara lain jika manusia melakukan perenungan terhadap ayat-ayat Tuhan yang bersifat kauniyyah, sedangkan komunikasi verbal adalah dengan wahyu. Wahyu diberikan kepada para Nabi kemudian ditulis di dalam kitab suci. Dengan demikian, kitab suci merupakan alat untuk berkomunikasi antara Tuhan dan manusia secara verbal. begitu pula halnya dengan al-Qur’an sebagai salah satu kitab suci.
Yang menjadi lawan tutur al-Qur’an yang paling utama dalam berkomunikasi secara verbal adalah manusia. Sedangkan manusia yang ada sebelum turunnya al-Qur’an secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu al-ummiyyûn dan Ahl al-Kitâb.[1] Oleh karena itu, Ahl al-Kitâb mendapatkan porsi yang sangat besar dalam kedudukannya sebagai lawan tutur al-Qur’an.
Jika dilihat dari bentuknya, relasi komunikatif verbal antara al-Qur’an dengan Ahl al-Kitâb bisa dibagi menjadi tiga, yaitu: Al-Qur'an sebagai penutur yang aktif berbicara, sementara Ahl al-Kitâb sebagai lawan tutur tidak memberi jawaban atau hanya mendengarkan saja. Al-Qur'an sebagai penutur yang aktif berbicara, dan Ahl al-Kitâb sebagai lawan tutur yang juga aktif berbicara. Ahl al-Kitâb sebagai penutur yang aktif berbicara, dan Nabi Muhammad SAW atau umat Islam sebagai lawan tutur, akan tetapi yang memberikan pernyataan atau jawaban dari penutur (Ahl al-Kitâb) adalah al-Qur'an. Jika diskemakan adalah sebagai berikut:
  1. Al-Qur'an (aktif) à Ahl al-Kitâb (pasif)
  2. Al-Qur'an (aktif) àß Ahl al-Kitâb (aktif)
  3. Ahl al-Kitâb (aktif) àß Al-Qur'an memberi petunjuk jawaban kepada Nabi Muhammad SAW dan/atau umatnya (aktif)
Untuk poin 3 pernyataan Ahl al-Kitâb disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW dan/atau kepada umat Islam.
Makalah ini hanya membahas bentuk yang pertama, dan hanya difokuskan pada Q.S. al-Baqarah, 2 : 40 - 123,[2] karena ayat-ayat tersebut, menurut pengamatan penulis, adalah satu-satunya komunikasi verbal al-Qur’an terhadap Ahl al-Kitâb secara monolog (tanpa ada jawaban dari Ahl al-Kitâb). Fokus pembahasannya berkisar pada tema pokok dan metoda penyajian ide-ide dengan menggunakan pendekatan semantik guna mencari makna dari kata-kata kunci yang ada.

B. Tema Pokok
Tema pokok pada Q.S. al-Baqarah, 2: 40-123 adalah 'Ajakan Beriman kepada al-Qur'an dan Nabi Muhammad SAW' dengan berdasarkan kepada nikmat yang sudah diterima. Tema ajakan beriman kepada al-Qur'an merupakan kelanjutan dari tema sentral yang dibahas sejak awal surat al-Baqarah, ذلك الكتاب لا ريب فيه (Kitab ini tidak ada keraguan padanya), sementara itu keimanan kepada Nabi Muhammad SAW merupakan keniscayaan bagi setiap orang yang beriman kepada al-Qur’an. Tema pokok ini hanya sebatas beriman kepada al-Qur'an dan Nabi Muhammad SAW. Ahl al-Kitâb pada saat itu dianggap tidak beriman kepada dua hal ini, karena sebenarnya Ahl al-Kitâb telah beriman kepada Allah SWT dan hal-hal lain yang berkaitan dengan permasalahan tauhid melalui ajaran yang telah mereka ketahui.
Di dalam komunikasi verbal secara monolog, agar ide pokok bisa diterima dengan baik oleh lawan tutur, pengulangan terhadap pemaparan tema pokok merupakan hal yang tidak boleh dihindari. Pengulangan tema pokok ini diungkapkan dengan bahasa yang jelas dan sindiran. Pemaparan tema pokok dengan bahasa yang jelas hanya dilakukan sekali oleh al-Qur'an, yaitu pada ayat 41 yang berbunyi:

وَآمِنُوا بِمَا أَنزَلْتُ مُصَدِّقاً لِمَا مَعَكُمْ وَلا تَكُونُوا أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ

Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan yang membenarkan apa yang ada padamu, dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya
Pernyataan al-Qur'an ما أنزلت (apa yang telah Aku turunkan), walaupun makna denotatifnya tidak menunjuk langsung kepada al-Qur'an, akan tetapi orang, yang dalam hal ini adalah Ahl al-Kitâb, akan memahaminya sebagai al-Qur'an. Hal itu disebabkan karena pada konteks ayat tersebut komunikasi verbal terjadi antara Nabi Muhammad SAW dengan orang-orang Yahudi Madinah, sehingga apa yang diturunkan oleh Allah SWT walaupun tidak dijelaskan kepada siapa diturunkannya, akan tetapi sudah jelas diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tiada lain adalah al-Qur’an. Hal ini dikuatkan dan dibuktikan oleh pernyataan sesudahnya مصدقا لما معكم (yang membenarkan apa yang ada padamu) yang dalam konteks Bani Israel adalah kitab Taurat. Sehingga apa yang sudah diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW yang membenarkan kitab Taurat adalah al-Qur'an.
Di dalam bahasa komunikatif, penyebutan keimanan kepada al-Qur'an (wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW) tidaklah cukup hanya beriman kepada yang diturunkan saja, akan tetapi harus pula beriman kepada orang yang dipercaya untuk menerima dan menyampaikan wahyu itu kepada umatnya, yaitu Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan pemaparan tema pokok dengan bahasa sindiran sudah dimulai sejak pembukaan komunikasi verbal ini. Pembukaan komunikasi verbal ini tertuang pada ayat 40 sebagai berikut:

يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِي الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ

Hai Bani Israil, ingatlah nikmatKu yang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepadaKu, niscaya Aku penuhi janjiKu kepadamu; dan hanya kepadaKu-lah kamu harus takut (tunduk).

Al-Qur'an memanggil mereka dengan 'Hai Bani Israel', diteruskan dengan 'ingatlah nikmatKu yang telah Aku anugerahkan kepadamu,' lalu 'penuhilah janjimu kepadaKu niscaya Aku penuhi janjiKu kepadamu,' dan 'hanya kepadaKu-lah kamu harus takut (tunduk),' bukannya tidak ada hubungan dengan tema pokok yang dibicarakan oleh al-Qur'an pada ayat-ayat ini, akan tetapi empat ungkapan itu menggiring pendengar, dalam hal ini adalah orang-orang Yahudi Madinah, untuk beriman kepada al-Qur'an dan Nabi Muhammad SAW.
Al-Qur'an memanggil mereka dengan 'Hai Bani Israel', yang arti asalnya adalah 'Hai anak-anak hamba Allah yang saleh',[3] mempunyai makna yang sangat dalam dan sangat berpengaruh terhadap perasaan orang-orang Yahudi Madinah yang menjadi pendengar atau lawan tutur dari orasi yang dilakukan al-Qur'an pada ayat-ayat ini. Hal itu bisa dibuktikan dengan hal-hal berikut ini.
1.      Kata Banî adalah jamak dari kata ibn yang mempunyai arti anak, sedangkan Isrâ`îl nama lain dari Nabi Ya'qub artinya hamba Allah yang saleh. Penamaan mereka dengan anak-anak hamba Allah yang saleh berarti menisbatkan mereka dengan seorang hamba yang sangat dekat dengan Allah SWT, atau dalam kata lain membawa nama bapak mereka yang benar-benar cinta dan dicintai Allah SWT. Jika mereka tidak saleh sebagaimana bapak mereka, maka alangkah jeleknya mereka, karena sebagai anak mestinya mengikuti jejak orang tuanya dan meneruskan apa yang menjadi kebaikan orang tuanya. Frase Banî Isrâ`îl pada ayat di atas jika digantikan dengan sinonimnya, al-Yahûd umpamanya, akan mempunyai dampak yang berbeda pada benak pendengarnya, karena kata al-Yahûd adalah sebutan untuk kelompok orang-orang yang beragama Yahudi, yang tidak menyebutkan hubungan darah langsung dengan pembawanya. Tanggung jawab untuk mengikuti jejak pembawanya sangatlah kurang. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa orang-orang yang beragama apa pun, biasanya melakukan hal-hal yang dilarang oleh agamanya lebih mudah dibandingkan dengan hilangnya kehormatan keluarga. Padahal kitab-kitab yang diturunkan kepada para Nabi keturunan Nabi Ya'qub AS, di antaranya adalah kitab Taurat, telah memberikan penjelasan akan turunnya Nabi terakhir dengan sifat-sifat yang sama dengan sifat-sifat yang ada pada Nabi Muhammad SAW. Maka pemanggilan dengan ungkapan Banî Isrâ`îl merupakan sindiran untuk beriman kepada Nabi Muhammad SAW yang sifat-sifatnya telah mereka ketahui dan beriman kepada kitab yang dibawanya.
2.      Ungkapan 'ingatlah nikmatKu yang telah Aku anugerahkan kepadamu' secara tidak langsung mengarah kepada keharusan beriman kepada apa saja yang diturunkan Allah SWT kepada siapa pun orangnya, termasuk kepada Nabi Muhammad SAW. Mengingat nikmat (zikr an-ni'mah) tidak hanya terbatas pada kondisi ingat saja, akan tetapi juga percaya (îmân) kepada kenikmatan itu dan percaya kepada yang memberi nikmat, yaitu Allah SWT. Perintah untuk ingat kepada nikmat juga tidak hanya sekedar ingat, akan tetapi harus dimanifestasikan dalam bentuk kesyukuran (syukr). Dua kata terakhir (îmân dan syukr) di dalam bahasa Arab dan di dalam al-Qur'an adalah antonimi dari kata kufr. Oleh karena itu, perintah ini secara tidak langsung juga perintah agar tidak kufr atau beriman kepada kehendak Allah SWT yang memilih seorang Nabi bukan dari etnis mereka, yaitu Nabi Muhammad SAW dan beriman kepada al-Qur'an yang diturunkan kepada beliau SAW.
3.      Ungkapan berikutnya semakin jelas sindirannya, yaitu pernyataan al-Qur'an 'penuhilah janjimu kepadaKu niscaya Aku penuhi janjiKu kepadamu'. Terbukti bahwa al-Qur'an memilih kata 'aufû'[4] (penuhilah) dan 'bi 'ahdî'[5] (janjiku). Kata aufû (penuhilah) pada konteks ini adalah melaksanakan semuanya. Sedangkan 'ahdî (janjiKu) adalah ajaran-ajaran Allah SWT yang tertulis di dalam kitab Taurat. Orang-orang Yahudi menyebut kitab Taurat dengan ungkapan al-'ahd (perjanjian). Dengan begitu makna dari kalimat aufû bi 'ahdî adalah laksanakan semua ajaran yang tercantum di dalam kitab Taurat, jangan ada yang kalian tutup-tutupi hanya karena menginginkan pangkat duniawi. Ajaran-ajaran yang tercantum di dalam kitab Taurat antara lain adalah diutusnya Nabi terakhir, yaitu Nabi Muhammad SAW, dengan membawa ajaran-ajaran dari Allah SWT. Oleh karena itu, kalian harus beriman kepada kepada Nabi Muhammad SAW dan al-Qur'an. Kalimat aufû bi 'ahdî ûfi bi 'ahdikum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ayat berikutnya pada ungkapan musaddiqan limâ ma'akum wa lâ takûnû awwala kâfirin bih, wa lâ tasytarû bi âyâti tsamanan qalîlan yang diungkapkan setelah perintah beriman kepada al-Qur'an (âminû bi mâ anzaltu).  
4.      Ketundukan dan kepatuhan adalah salah satu ciri dari keimanan. Oleh karena itu, ungkapan berikutnya, walaupun merupakan perintah yang jelas, yaitu 'hanya kepadaKu-lah kamu harus takut (tunduk)', namun mengandung makna sindiran: jika kamu sekalian tidak mau beriman kepada Muhammad dan al-Qur'an yang dibawanya, maka kamu sekalian akan mendapatkan siksaan yang sangat pedih dariKu, karena tidak ada siksaan yang melebihi siksaanKu, maka takutlah hanya kepadaKu.
Dengan demikian, jelaslah sudah bahwa mukaddimah dari komunikasi verbal monologika yang diungkapkan oleh al-Qur'an mempunyai hubungan yang sangat erat dengan tema pokok orasinya, bahkan bukan hanya hubungan maknawiah saja, akan tetapi kata-kata yang dipilih pun berhubungan dengan tema pokok tersebut.
Hubungan tema pokok dengan isi dari orasi al-Qur'an tampak lebih jelas lagi, karena ide yang diangkat oleh al-Qur'an pada isi orasi ini menjurus kepada keharusan beriman kepada al-Qur'an dan Nabi Muhammad SAW, selaku yang dipercaya Allah SWT untuk menyampaikannya kepada umatnya, termasuk di antaranya adalah orang-orang Yahudi Madinah. Memang yang dipilih oleh al-Qur'an adalah berbagai hal yang berhubungan dengan kenikmatan yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT kepada mereka dan para leluhur mereka, akan tetapi kenikmatan-kenikmatan tersebut ternyata diikuti dengan berbagai kesalahan yang mereka lakukan pada masa lalu dan bahkan pada masa diturunkannya al-Qur'an.
Sebenarnya perintah untuk mengingat nikmat yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT itu hanyalah sebagai salah satu cara untuk mempengaruhi mereka agar mereka mau beriman kepada al-Qur'an dan Nabi Muhammad SAW. Kenapa dinyatakan hanya sebagai cara, bukan menjadi perintah langsung yang harus dilakukan oleh orang-orang Yahudi Madinah pada saat itu? Jawabnya adalah karena mereka bukanlah orang-orang yang lupa terhadap nikmat Allah SWT yang telah mereka terima, sehingga harus disuruh mengingat. Mereka, terutama ulama'nya, sangat tahu terhadap hal-hal yang diungkapkan di dalam orasi al-Qur'an ini.
Dengan demikian, pengungkapan kenikmatan yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada mereka pada ayat-ayat berikutnya tujuannya bukan agar mereka ingat atau tahu terhadap kenikmatan tersebut, akan tetapi tujuan utamanya adalah melehke mereka jika mereka tidak beriman terhadap al-Qur'an dan Nabi Muhammad SAW. Bila diungkapkan dengan bahasa lain seakan al-Qur'an menyatakan: sungguh sangat aneh kalian itu, sudah tahu kenikmatan-kenikmatan yang telah Aku anugerahkan, namun kalian tidak mau mengikuti perintah-perintahKu.

C. Isi Komunikasi Verbal
Jika kita lihat dari sisi pengungkapan pemikiran yang disampaikan oleh al-Qur'an kepada orang-orang Yahudi Madinah ini, sangatlah jelas. Mereka tahu istilah-istilah dan ide-ide yang ada pada orasi al-Qur'an ini. Yang dimunculkan pada orasi ini adalah berbagai hal yang berhubungan dengan masalah-masalah religius, dalam arti masalah-masalah ketuhanan dan peribadatan. Berbagai hal itu diberi argumentasi yang bersifat religius juga. Jika dibandingkan dengan pengungkapan ide-ide dan argumen-argumen yang dibangun pada ayat-ayat sebelumnya, ayat-ayat yang lawan tuturnya adalah orang-orang musyrik, maka ide dan argumennya bersifat rasional. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari konteks eksternal teks, kepada siapa ayat-ayat ditujukan. Ide dan argumentasi yang dibangun adalah hal-hal yang mudah dicerna oleh masing-masing mereka. Kepada kelompok orang yang ateis atau politeis argumen yang dibangun adalah argumen-argumen rasional, sementara kepada kelompok orang yang mempunyai keyakinan monoteis argumen yang dibangun adalah hal-hal yang bersifat relegius.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa tema pokok dari komunikasi verbal al-Qur'an dengan Ahl al-Kitâb secara monolog pada permasalahan ini adalah 'Perintah untuk Beriman kepada Al-Qur'an dan Nabi Muhammad SAW', maka isi dari orasi ini pun tidak menyimpang dari tema pokok tersebut.
Untuk yang pertama kali, al-Qur'an menekankan dengan sungguh-sungguh agar mereka betul-betul beriman kepadanya dan tidak mengingkarinya dengan ungkapan 'jangan menjadi orang yang pertama-tama kafir kepadanya'. Penekanan ini sangat jelas dengan penggunaan ungkapan ولا تكونوا أول كافر به bukan memakai ungkapan misalnya: ولا تكفروا به (jangan ingkar kepadanya). Larangan dengan menggunakan kombinasi لا الناهية dan fi'l mudâri' dari كان mempunyai makna sifat yang melekat pada khabarnya. Apalagi khabarnya menggunakan kata awwal yang diidhâfahkan kepada ism fa'il dari kata kufr (kâfir). Kata awwal yang secara leksikal mempunyai makna mendahului yang lain merupakan penekanan yang luar biasa, apalagi diikuti dengan kata kâfir yang merupakan ism sifat yang tidak disertai oleh waktu. Khabar dengan menggunakan ism mufrad nakirah ini juga menambah penekanan untuk semua orang yang mengaku pengikut kitab Taurat, karena ism mufrad nakirah mempunyai makna yang lebih umum daripada jam' nakirah, lebih-lebih jika dibandingkan dengan jam' ma'rifah.[6] Dengan begitu penggunaan ungkapan ولا تكونوا أول كافر به  merupakan larangan ingkar terhadap al-Qur'an dengan menggunakan ungkapan yang sangat retoris dan menyentuh hati lawan bicara.
Ada yang menjadi pertanyaan pada ungkapan tersebut, yaitu apakah tidak mungkin, jika diungkapkan kalimat pembandingnya, akan mempunyai makna boleh menjadi orang kafir asal bukan yang pertama. Sehingga boleh menjadi orang kafir yang kedua atau ketiga dan seterusnya. Dalam hal ini Ibn 'Âsyûr[7] memberikan jawaban yang sangat baik, yaitu:
1.      Yang dimaksud bukan sekedar larangan untuk menjadi orang-orang yang mendahului ingkar dibandingkan selain Ahl al-Kitâb, akan tetapi tujuan utamanya adalah perintah untuk menjadi orang-orang yang paling dahulu beriman kepada al-Qur'an, karena antara îmân dan kufr merupakan antonimi, sehingga pada ungkapan itu sama saja dengan pernyataan كونوا أول مؤمن به (jadilah orang yang pertama-tama beriman kepadanya), ungkapan ini adalah sebagai kelanjutan dari ungkapan sebelumnya وآمنوا بما أنزلت مصدقا لما معكم.
2.      Larangan itu juga mempunyai makna agar orang-orang Yahudi Madinah tidak menyerupai orang-orang musyrik Makkah[8] yang dengan terang-terangan ingkar kepada al-Qur’an sejak al-Qur’an diturunkan.
3.      Makna yang lain adalah bukan berarti tidak ada yang mendahului, akan tetapi setelah tahu al-Qur’an turun langsung ingkar. Hal ini sama dengan ayat قل إن كان للرحمن ولد فأنا أول العابدين[9] (katakan Muhammad, jika Allah Yang Maha Pengasih itu mempunyai anak maka aku orang pertama yang menyembahnya), yang dimaksud langsung menyembahnya, bukan tidak ada yang mendahuluinya.
4.      Kata awwal mempunyai makna pemimpin, dalam arti bahwa pemimpin yang diikuti itu akan berada di garis paling depan (mendahului yang lain). Sehingga maknanya adalah “janganlah kalian menjadi orang yang menyatakan kekafiran, karena kalian adalah orang-orang yang menjadi panutan dalam hal keimanan. Jika kalian menyatakan kafir maka orang-orang lain, kaum penyembah berhala, akan mengikuti kekafiranmu itu.”
5.      Yang dimaksud yang pertama (awwal) pada ungkapan ini hubungannya dengan dakwah Islam di Madinah.
Memang terjadi ambigu pada ungkapan ولا تكونوا أول كافر به sehingga terjadi banyak pemahaman terhadap ungkapan tersebut, sebagaimana yang telah dijelaskan pada penafsiran kata awwal di atas dalam pengertian awwal dalam hal keingkaran mereka terhadap al-Qur’an, akan tetapi berbagai pemahaman terhadap ungkapan ini tidak ada pertentangan antara satu dengan yang lain. Ambigu yang lain ada pada damîr gâ`ib (pronomina persona ketiga) setelah bâ` (كافر به). Yang dimaksud apakah ingkar terhadap al-Qur’an atau ingkar terhadap Taurat, keduanya bisa dibenarkan, karena damîr gâ`ib itu berada setelah ungkapan وَآمِنُوا بِمَا أَنزَلْتُ مُصَدِّقاً لِمَا مَعَكُمْ, yang mana klausa مَا أَنزَلْتُ dan frasa مَا مَعَكُمْ sama-sama bisa menjadi marji’ dari damîr tersebut, sehingga keingkaran yang dimaksud bisa keingkaran terhadap al-Qur’an dan bisa pula terhadap Taurat. Namun begitu, walaupun informasi yang ada terjadi ambigu, akan tetapi makna yang terkandung tidak menunjukkan pertentangan. Karena larangan ingkar terhadap terhadap al-Qur’an sama isinya dengan larangan ingkar terhadap Taurat yang telah dengan nyata menyebutkan akan diutusnya nabi terakhir dengan membawa wahyu dari Allah SWT, yaitu Nabi Muhammad SAW dan al-Qur’an.
Untuk ungkapan-ungkapan berikutnya, yaitu 'janganlah kamu menukarkan ayat-ayatKu dengan harga yang rendah', 'hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa', 'janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang batil', dan 'janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui', semuanya berhubungan erat dengan tema pokok pembahasan pada orasi al-Qur'an ini. Kiranya tidak perlu dianalisis satu persatu dari ungkapan-ungkapan ini karena hanya akan membuat makalah ini semakin berpanjang-panjang.
Namun begitu, ada ungkapan al-Qur'an berikutnya yang kelihatannya tidak ada hubungan langsung dengan tema pokok orasi ini, yaitu pengungkapan perintah salat dan zakat, yang keduanya adalah hal yang bersifat tindakan bukan keimanan. Jika diperhatikan dengan seksama, ungkapan itu pun sangat berhubungan erat dengan tema pokok pembahasan ini, karena keimanan bukanlah formalitas belaka, akan tetapi harus diwujudkan dalam tindakan. Di sini al-Qur'an sudah masuk ke dalam pembicaraan yang lebih spesifik lagi, yaitu manifestasi dari tema pokok orasi ini. Perwujudan dari keimanan kepada al-Qur'an dan Nabi Muhammad SAW adalah melaksanakan syari'at, yang dalam hal ini penyebutannya diwakili oleh melakukan salat dengan sebaik-baiknya dan menunaikan zakat, yang keduanya adalah dasar ajaran Islam setelah iman. Pada perintah salat dan zakat ini terdapat sindiran kepada orang-orang Yahudi Madinah, yaitu berupa prasangka baik (husn az-zann) bahwa mereka akan menerima ajakan ini dan ajakan-ajakan sebelumnya, karena mereka adalah umat yang sudah semestinya menerima ajaran-ajaran al-Qur'an.
Perintah untuk salat dan zakat mendapatkan porsi melebihi yang lain. Hal ini disebabkan oleh karena salat dan zakat adalah syari'at al-Qur'an yang paling utama, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sehingga pada penjelasan berikutnya, al-Qur'an memerintahkan agar menjadikan keduanya sebagai penolong mereka, penolong dalam berbagai hal dalam kehidupan mereka. Hal ini bisa dipahami dari tidak disebutkannya objek pertolongan di dalam ayat 45: واستعينوا بالصبر والصلاة (dan jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu). Pertolongan dalam hal apa saja tidak disebutkan pada ayat ini.
Kesabaran yang dimaksudkan pada ayat ini seakan tidak ada hubungan dengan pembicaraan dalam orasi ini, akan tetapi jika dilihat lebih teliti lagi, sebenarnya pengungkapan kata as-sabr pada ayat ini mempunyai makna yang jelas jika dihubungkan dengan ayat 43: وأقيموا الصلاة وآتوا الزكاة (dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat). Zakat merupakan pelaksanaan peribadatan yang membutuhkan kesabaran, karena sudah menjadi kebiasaan manusia sangat berat untuk mendermakan harta bendanya kepada orang lain, terutama di dalam pembicaraan ini adalah orang-orang Yahudi Madinah yang telah disindir pada ungkapan 'dan janganlah kalian tukarkan ayat-ayatKu dengan harga yang murah' sebelumnya. Oleh karena itu, dalam ayat ini al-Qur'an menyatakan kesabaran sebagai sesuatu yang perlu dijadikan penolong. Kesabaran yang terutama menurut pengertian ayat ini adalah kesabaran dalam menunaikan zakat dengan tidak menutup kemungkinan kesabaran terhadap hal-hal lain.
Sedangkan menjadikan salat sebagai penolong adalah manifestasi dari rasa syukur atau ucapan terima kasih kepada Yang Telah Menganugerahkan berbagai kenikmatan kepada manusia, yaitu Allah SWT. Makna salat pada ayat ini adalah salat menurut pengertian agama Islam. Hal ini bisa kita pahami dari adanya kedua ajaran ini adalah syari’at yang pokok di dalam agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Orang-orang Yahudi Madinah saat itu sudah mengerti pengertian salat yang dimaksudkan oleh al-Qur’an. Karena mereka telah melihat langsung apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW bersama sahabatnya.
Kita bisa juga memahami dari perintah untuk menjadikan kesabaran dan salat sebagai penolong bagi mereka sebagai sindiran dan ajakan tidak langsung kepada mereka untuk mengikuti ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW, dalam arti memeluk agama Islam. Dengan menunaikan zakat (pengertian dari kata as-sabr) dan melaksanakan salat menurut ajaran Nabi Muhammad SAW, maka otomatis mereka mengikuti ajaran Islam.
Terjadi ambigu pada marji’ dari kata ganti orang ketiga yang ada pada kalimat وإنها لكبيرة إلا على الخاشعين (dan sesungguhnya dia sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’). Kata ganti ها pada susunan إنها bisa kembali kepada salat, bisa juga kembali kepada permohonan pertolongan (الاستعانة) dan bisa pula kembali kepada semua perintah yang disebutkan mulai perintah untuk menyebutkan nikmat sampai perintah terakhir ini.[10] dan rupanya pendapat ini yang lebih mendekati kepada pemahaman yang paling dekat dengan maksud ayat ini.
Perintah berikutnya kepada Bani Israel adalah mengulang perintah untuk mengingat nikmat Allah SWT sebagaimana yang disebutkan pada mukaddimah dari orasi monolog ini. Hanya saja pada perintah mengingat nikmat Allah SWT yang kedua ini diikuti langsung dengan penyebutan nikmat-nikmat tersebut secara terperinci. Dengan begitu, penyebutan nikmat-nikmat setelah ayat ini merupakan tafsîl (pemerincian) terhadap ungkapan ‘nikmatKu’. Pemerincian nikmat-nikmat Allah SWT ini dimulai dari yang paling dasar, yaitu kenyataan yang terjadi pada Bani Israel yang mendapatkan anugerah keutamaan yang lebih dibandingkan umat-umat yang lain, baru setelah itu diperinci satu persatu dari kejadian-kejadian pada masa lampau hingga masa turunnya al-Qur’an yang terjadi pada mereka.
Pemerincian nikmat-nikmat itu diwujudkan dalam kisah yang dimulai dengan ungkapan وإذ akan tetapi diselingi dengan ancaman akan datangnya hari yang tidak ada kekuasaan dan kekuatan apa pun kecuali yang dimiliki oleh Allalh SWT. Kata ini muncul pada setiap pergantian kisah sebagai obyek dari perintah untuk mengingat nikmat-nikmat Allah SWT. Kata ini, salah satu maknanya adalah ism zamân (kata yang bermakna waktu) bukan sebagai keterangan waktu. Dia sebagai obyek dari perintah mengingat nikmat Allah SWT. Dengan demikian, kata إذ pada kisah-kisah tersebut menunjukkan bahwa kisah-kisah itu benar-benar telah terjadi dan telah diketahui oleh mereka.
Di dalam mengungkap kisah-kisah tersebut, al-Qur’an mengungkapkannya dengan berbagai variasi. Ada yang diungkapkan dengan kalimat yang pendek dan ada pula yang diungkapkan dengan kalimat-kalimat yang agak panjang. Untuk kisah-kisah yang sudah terkenal di kalangan masyarakat Yahudi diungkapkan dengan kalimat yang pendek, sementara untuk kisah-kisah pendek yang memerlukan penjelasan tertentu guna memberikan pengajaran kepada mereka, tidak segan-segan al-Qur’an memberikan tambahan-tambahan seperlunya dengan memberikan perincian pesan-pesan yang disampaikan.
Dalam melakukan orasi, tentu saja diperlukan untuk menghidupkan suasana. Salah satu cara untuk menghidupan suasana yang dilakukan oleh al-Qur’an adalah dengan mengungkapkan kisah-kisah pendek faktual yang sesuai dengan tema yang dibicarakan, bahkan kisah-kisah pendek inilah yang mendominasi orasi monolog al-Qur’an terhadap Ahl al-Kitâb. Jika kita lihat urutan kisah-kisah yang diungkapkan di dalam orasi monolog ini, ternyata kisah-kisah ini tidak disebutkan secara berurutan satu persatu, akan tetapi diungkapkan sesuai dengan kebutuhan dari tema pokok orasi ini, yaitu perintah untuk beriman kepada al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW.
Orasi monolog ini ditutup dengan perintah yang sama dengan mukaddimahnya, yaitu perintah untuk mengingat nikmat Allah SWT dengan diungkapkan kenikmatan pokok mereka, yaitu kenyataan bahwa mereka telah dianugerahi kelebihan dibandingkan umat-umat yang lain sebagai kesimpulan dari kisah-kisah yang telah disebutkan pada saat pemaparan isi dari orasi ini. Namun begitu, sebenarnya kesimpulan yang tidak diungkapkan secara eksplisit adalah perintah untuk beriman kepada al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang telah disebutkan di dalam tema pokok.



D. Penutup
Relasi komunikatif verbal antara al-Qur’an dengan Ahl al-Kitâb ada yang dilakukan dengan dua arah atau dialog, dalam arti kedua-duanya aktif berkomunikasi secara verbal, dan ada yang dilakukan dengan bentuk monolog. Dalam bentuk monolog, atau bisa juga disebut dengan orasi, al-Qur’an menggunakan teori monologika yang sangat bagus dan dapat mempengaruhi lawan tuturnya dengan sangat sempurna.
Dalam orasinya terhadap Ahl al-Kitâb, al-Qur’an memulainya dengan pendahuluan yang mencakup hal-hal yang menjadi tujuan dari orasi tersebut, yang bisa juga disebut sebagai tema pokok dari orasi itu. Selanjutnnya pemaparan isi dari orasi itu, walaupun pembicaraannya terlihat seakan menyimpang dari tema pokok, namun sebenarnya semua itu sebagai pengembangan dari tema pokok yang ada. Dan ternyata diakhiri dengan penutup yang menjadi konklusi dari semua yang telah dipaparkan, sesuai dengan tema pokoknya.
Kata-kata dan kalimat-kalimat yang dipilih oleh al-Qur’an mempunyai makna semantis yang sangat dalam, karena penempatan kata atau kalimat itu disesuaikan dengan konteks internal dan eksternal teks. Di samping itu, kata dan kalimat yang dipilih adalah kata dan kalimat yang maknanya mempunyai pengaruh yang sangat dalam terhadap lawan tuturnya. Sehingga orasi itu merupakan tindak tutur yang bernilai tinggi.
Kepada Ahl al-Kitâb, argumen-argumen yang dipilih dalam relasi komunikatif verbal secara monolog adalah hal-hal yang bersifat religius-dogmatik dalam bidang keyakinan dan religius-syar’i dalam bidang-bidang berhubungan dengan praktek-praktek peribadatan.
Selanjutnya, makalah ini hanya sebuah langkah awal untuk memahami makna-makna yang terkandung di dalam relasi komunikatif verbal al-Qur’an dengan Ahl al-Kitâb. Oleh karena itu, penelitian lanjutan sangatlah diperlukan.
Akhirnya, penulis berharap agar makalah ini mempunyai pengaruh pada pengkajian-pengkajian berikutnya. Dan semoga bermanfaat. Amin.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Karim

‘Abd al-Bâqî, Muhammad Fu`âd, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur`ân, Kairo: Dâr al-Fikr, 1401 H./1981 M.

al-Alûsî, h al-Ma’ânî,

Anîs, Ibrâhîm, Dalâlah al-Alfâz, Kairo: Maktabah al-Anglo al-Misriyyah, t.t.

Bint asy-Syâti`, Â`isyah 'Abd ar-Rahmân, at-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur`ân al-Karîm, Kairo: Dâr al-Ma'ârif, t.t.

al-Farrâ`, Abû Zakariyyâ Yahyâ ibn Ziyâd, Ma'ânî al-Qur`ân, Kairo: Markaz al-Ahrâm, 1989.

Haidar, Farîd 'Iwad, 'Ilm ad-Dilâlah; Dirâsah Nazariyyah wa Tatbîqiyyah, Kairo: Maktabah al-Âdâb, 2005.

Husâm ad-Dîn, Karîm Zakî, at-Tahlîl ad-Dalâlî; Ijrâ`âtuhû wa Manâhijuhû, Kairo: Dâr al-Garîb, 2000.

Ibn 'Âsyûr, at-Tahrîr wa at-Tanwîr, Tunis: Dâr Syahnûn li an-Nasyr wa at-Tauzî’,  t.t.

Ibn Manzûr, Lisân al-'Arab.

al-Kisâ`î, Alî ibn Hamzah, Ma'ânî al-Qur`ân, tahqîq: 'Îsâ Syahhâtah 'Îsâ, Kairo: Dâr al-Qubâ`, 1998.

Sulaimân, Fathullâh Ahmad, Madkhal ilâ 'Ilm ad-Dalâlah, Kairo: Maktabah al-Âdâb, 1991.

'Umar, Ahmad Mukhtâr, Ilm ad-Dalâlah, Kairo: 'Âlam al-Kutub, cet. V, 1998.

az-Zamakhsyarî, Abû al-Qâsim Jâr Allâh Mahmûd ibn ‘Umar, al-Kasysyâf ‘an Haqâ`iq at-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fi Wujûh at-Ta`wîl, al-Fugâlah, Kairo: Maktabah Misr, t.t.




·dipresentasikan pada Annual Conference Kajian Islam yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islalm Departemen Agama RI, di Grand Hotel Lembang Jawa Barat, 26 – 30 Nopember 2006.
··Penulis adalah dosen tetap pada jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan merupakan kandidat Doktor Islamic Studies konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab di Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[1]Q.S. Âlu ‘Imrân, 3: 20.
[2]Ayat-ayat yang termaktub di dalam kumpulan ayat-ayatt ini tidak semuanya sebagai relasi komunikatif verbal antara al-Qur’an dengan Ahl al-Kitâb secara monologika, akan tetapi sebagiannya adalah sisipan yang diperuntukkan bagi kepentingan umat Islam. Hal itu dilakukan al-Qur'an, karena yang terpenting al-Qur'an adalah sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa (Q.S. al-Baqarah, 2: 2) yang dalam hal ini adalah umat Islam, sehingga sisipan-sisipan tertentu merupakan pengajaran al-Qur'an terhadap mereka. Ayat-ayat sisipan itu adalah ayat 75-82, 86, dan 88-121.
[3]Israel adalah nama lain dari Nabi Ya'qub. Israel sebenarnya terdiri dari dua kata, yaitu Isrâ dan Îl, yang arti asalnya adalah hamba Allah yang saleh. Lihat al-Alûsî, h al-Ma’ânî, Ibn ‘Âsyûr, at-Tahrîr wa at-Tanwîr, dan beberapa kitab tafsir yang lain.
[4]Kata aufû adalah fi'l amr dari kata wafâ yang diwazankan af'ala menjadi aufâ. Secara leksikal arti kata aufâ searti dengan kata wafâ. Lihat Ibn Manzûr, Lisân al-'Arab. Walaupun begitu, tentu saja ada perbedaan penekanan, sebab penambahan pada kata itu ada penambahan makna. Untuk kasus ini penambahan maknanya adalah untuk penekanan. Lihat Ibn 'Âsyûr, at-Tahrîr wa at-Tanwîr, Juz I, Tunis: Dâr Syahnûn li an-Nasyr wa at-Tauzî’,  t.t., hlm. 452. Begitu pula tambahan harf jarr berupa bâ` pada objeknya.
[5]Kata 'ahdî terdiri dari dua kata 'ahd dan yâ` kata ganti orang pertama. Kata 'ahd secara leksikal mempunyai makna perjanjian, dalam  arti bahwa dengan adanya perjanjian itu terjadi keharusan untuk melaksanakan apa saja yang telah disebutkan dan tidak mengkhianati terhadap orang yang diberi perjanjian. Kata ini jika diidhâfahkan kepada Allah SWT maka berlaku sebagai majaz, karena perjanjian yang dibuat bersifat satu arah, yaitu ketundukan untuk melakukan aturan-aturan Allah SWT dan melaksanakan ajaran agama yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Ibid., hlm. 453.
[6]Ungkapan yang dipakai oleh al-Qur'an bukan ولا تكونوا أول الكافرين yang secara nahwiyyah kelihatan lebih tepat, karena ism kâna jam' mestinya khabarnya juga jam'. al-Farrâ` menyatakan bahwa struktur kalimat ولا تكونوا أول كافر به  itu sudah tepat, karena kata kâfir pada kalimat tersebut adalah derivasi dari kafara (fi'l), sehingga yang dimaksud adalah ولا تكونوا أول من يكفر به. Lihat al-Farrâ`, Ma'ânî al-Qur`ân, jilid I, Beirut: 'Âlam al-Kutub, cet. III, 1983, hlm. 32-33.
[7]Ibn 'Âsyûr, at-Tahrîr wa at-Tanwîr, Juz I, hlm. 461-463.
[8]Di antara penafsiran az-Zamakhsyarî terhadap ungkapan ولا تكونوا أول كافر به adalah boleh saja yang dimaksud adalah janganlah menjadi seperti orang-orang yang paling pertama ingkar terhadap al-Qur’an, yaitu orang-orang musyrik Makkah. Az-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‘an Haqâ`iq at-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fi Wujûh at-Ta`wîl, al-Fugâlah, Kairo: Maktabah Misr, t.t., hlm. 124.
[9]Q.S. az-Zukhruf, 43: 81.
[10]Az-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, hlm. 126-127.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar