Minggu, 05 Desember 2010

ZAKAT PROGRESIF UNTUK PENGEMBANGAN PENDIDIKAN




Mohamad Ali, M.Pd.
Kepala SD Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Solo

Pembahasan masalah pendidikan sungguhn sangat komplek. Di antaranya adalah masalah pendanaan. Banyak sekolah yang tidak sanggup bertahan karena terbentur masalah dana. Artikel ini akan membahas tentang peluang pembiayaan sekolah melalui zakat progresif. Praktisi pendidikan melihat zakat progresif sebagai sarana untuk memelihara kebaikan hidup.

Pendahuluan
Bumi umat Islam saat ini belum beranjak dari situasi keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan, dan konservatisme keberagamaan. Padahal ajaran Islam itu mengajak dan mendorong para pemeluknya untuk berkemajuan, menggunakan akal-pikiran (ulul albab) dalam memahami ayat-ayat Allah baik kauniayah maupun qauliyah, bekerja keras dan betebaran ke seluruh penjuru bumi untuk mengais riski, dan beragama secara tulus atau Muslim sejati. Jarak antara normatifitas atau idealitas Islam dengan realitas atau sejarah Islam demikian jauh, sejauh jarak langit dan bumi.  Membaca peta situasi umat yang demikian memunculkan sejumlah pertanyaan. Apakah bahasa agama atau wahyu Allah itu memang begitu sakral dan tingginya sehingga tidak mampu dipahami oleh orang Islam secara benar, atau keterbatasan orang Islam itu sendiri sehingga tidak mampu menangkap dan mencerna pesan utama Al Quran, bisa jadi dapat memahami ajaran Islam tetapi berusaha membelokkan makna sesuai hawa nafsunya; atau orang Islam memang sudah cuek tidak mau menjadikan Islam sebagai pedoman hidup dan memilih bertindak sesuai adat yang berlaku dalam masyarakat.
Usaha memahami peta bumi permasalahan umat, apalagi mencari jalan-jalan baru sebagai alternatif memang bukan pekerjaan gampang. Ibarat mengurai dan menegakkan benang kusut, tidak jelas ujung pangkalnya sehingga sangat sulit ketika akan memulai kerja. Meskipun masalah yang dihadapi demikian ruwet dan kompleks, namun bukan berarti kita boleh putus asa. Apalagi mengelak dan lari dari belitan persoalan. Dengan tetap menjaga asa dan menatap masa depan dengan kesahajaan dan optimisme sembari terus bergumul dengan berbagai permasalahan yang membelit umat. Sikap hidup demikian dapat mengantarkan kondisi umat Islam yang jauh lebih berkualitas dan bermartabat. Ini pada urutannya dapat memperpendek jarak antara normatifitas Islam dengan realitas kehidupan umat.  
Semangat pergumulan mencari titik terang atas beragam permasalahan yang mendera umat Islam merupakan alasan utama mengapa artikel ini hadir. Ada tiga tesis utama yang ditawarkan, yaitu: pertama, matahari sudah tertalu tinggi untuk sekedar mendiskusikan keniscayaan zakat progresif atau zakat profesi; kedua, pengembangan pendidikan baik formal ataupun non-formal juga pusat-pusat riset untuk pengembangan ilmu harus menjadi medan garapan umat Islam jika menginginkan masa depan yang gemilang; ketiga, kemungkinan mengoptimalkan uang zakat untuk peningkatan kapasitas umat Islam melalui jalur pendidikan atau pusat-pusat riset. Ketiga tesis tersebut akan coba kita diskusikan berikut ini.

Keniscayaan zakat progresif
Istilah-istilah yang menjadi tema dalam Al-Quran itu pada umumnya bersifat multi-dimensional. Sehingga kerangka ilmu dan sosial budaya tidak dapat membatasai makna dan penafsiran. Pengertian zakat, misalnya, bisa digolongkan dalam aspek sosial-ekonomi, tetapi juga bisa dalam bidang spiritual keagamaan (Rahardjo,1996:7). Model pemaknaan multi-dimensional atas istilah-istilah kunci Al-Quran ini belum banyak dipahami atau paling tidak belum dapat diterima oleh sebagian ulama. Zakat hanya dipahami dari sudut pandang spiritual-keagamaan an sich yang ketentuan-ketentuan, termasuk perubahan prosentasenya, sudah tidak bisa diganggu gugat. Mereka menganalogikan persentase zakat dengan jumlah rakaat shalat wajib, mengubah ketentuan persentase zakat dipandang sama dengan merubah bilangan rakaat shalat wajib.
Di tengah iklim keberagamaan yang demikian (baca: konservatisme beragama) pada dekade 1980-an Prof. M. Amien Rais melontarkan gagasan perlunya zakat profesi ke publik. Lontaran itu tak pelak lagi memancing amarah sebagian ulama bahkan ada yang menuduhnya telah keluar dari jalur Islam alias ”kafir”. Bagi warga Muhammadiyah tuduhan itu tentu tidak mengagetkan, sebab gagasan pembaruan KH Ahmad Dahlan awalnya juga membuat heboh dan menempatkannya sebagai ”kyai kafir” atau londo alus. Itulah resiko seorang pembaharu yang mencoba menggeser horison berpikir umat. Untuk memahami gagasan zakat profesi Amien Rais akan coba kita ikuti alur pemikirannya sebagaimana tertuang dalam tulisannya berjudul ”memikirkan kembali kewajiban zakat” dalam bukunya Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta (1999:58-65). Selengkapnya mari kita ikuti rekaman berikut ini:
Yang saya persoalkan adalah zakat untuk profesi, yang mendatangkan riski dengan gampang dan cukup melimpah, setidak-tidaknya dibandingkan dengan penghasilan rata-rata penduduk. Jadi gugatan saya agar persentase zakat yang 2,5 persen itu ditinjau lagi dan kalau perlu ditingkatkan – katakanlah sampai 10 persen  (’usyur) atau 20 persen (khumus) – bukan saya tujukan untuk semua penghasilan untuk semua profesi, melainkan khusus untuk profesi yang mudah mengatangkan rizki...profesi yang dapat mendatangkan rizki secara gampang dan melimpah dewasa ini jumlahnya, seperti misalnya komisaris perusahaan, bankir, konsultan, analis, broker, dokter sepesialis, akuntan, notaris, artis, dan pelbagai penjual jasa serta macam-macam profesi ”kantoran” (white collar) lainnya (Rais,1999:59).

Mengapa Amien memunculkan gagasan zakat profesi? Pertama, persentase zakat harta kekayaan (zakat mal) sebesar 2,5 persen adalah masalah ijtihadiyah. Meskipun perintah zakat diulang sampai 82 kali dalam Al-Quran, namun tidak ada satu ayatpun yang membicarakan besarnya persentase. Ketentuan 2,5 adalah hasil ijtihad ulama berdasarkan hadist Nabi. Padahal jenis-jenis profesi saat itu masih terbatas pada bidang pertanian dan perdagangan (hasil pertanian) dimana zakatnya mencapai 5 sampai 10 persen. Kedua, satu-satunya persentase secara hitam di atas putih disebutkan Al-Quran adalah kewajiban mengeluarkan khumus (potongan seperlima/20 persen) atas harta rampasan perang dalam Surat Al-Anfal: 41. Rikaz atau harta temuan dikenakan zakat sebesar 20 persen. Ada titik temu yang merangkainya yaitu unsur ”kemudahan memperoleh rizki”. Ketiga, menangkap spirit keadilan Islam yang melarang harta hanya berputar di kelompok kaya saja (QS Al-Hasyir:7), orang bertaqwa adalah mereka yang menyadari bahwa dalam harta kekayaan yang dimiliki ada hak bagi gongan fakir dan miskin (QS Az-Zariyat:19), perhatian penuh harus dialamatkan kepada lapisan masyarakat yang hidup wajar sebagai manusia (QS Al-Haqqah:33-34; Al-Fajr:17-18; Al-Maun:1-2 dst).
Jalaludin Rakhmat (1992: 145-153) menyambut hangat gagasan zakat profesi, ia lebih suka menyebut zakat profesional, seraya memperkuat landasannya dari sudut Ushul Fikih. Menurutnya, istilah ghanimtum  berasal dari akar kata ghanimah yang tidak selalu berarti rampasan perang, tetapi juga bisa berarti  pahala atau keuntungan lebih, atau kelebihan dari penghasilan. Dengan demikian, kata kata Jalal, Al-Quran  Surat Al-Anfal: 41 bisa diterjemahkan menjadi  ”Dan ketahuilah bahwa apa-apa yang kamu peroleh sebagai kelebihan penghasilan (keuntungan), yang seperlima adalah kepunyaan Allah, Rasul, kerabat,... dan seterusnya. Singkatnya, di luar zakat ada kewajiban mengeluarkan perlimaan dari pekerjaan-pekerjaan yang tidak dikenai wajib zakat, pekerjaan tersebut disebut sebagai profesi.
Dari sudut tasawuf, Emha Ainun Najib menambahkan: Di atas hukum formal ada moralitas, di atas moralitas ada cinta. Di atas fikih ada akhlak, di atas akhlak ada taqwa ada tawakal dan hubb. Untuk menyempurnakan dan membaguskan keberagamaan, kita memerlukan akhlakul karimah dan penghayatan spiritualitas, di samping aturan-aturan baku sebagaimana terdapat dalam hukum.
Berdasar alur pemikiran di muka, sebenarnya sudah cukup alasan untuk menyatakan bahwa gagasan zakat profesi Amien Rais memiliki landasan kokoh baik dari sisi spiritual keagamaan maupun sisi sosial ekonomi. Lebih jauh Amien berseru: ”... zakat tetap punya tempat khusus dalam pandangan kaum Muslimin, karena merupakan kewajiban. Untuk merelevansikan tuntunan zakat dengan keperluan penegakan keadilan itulah saya dengan segala kerendahan hati mengajak memikirkan bersama zakat yang bersifat progresif dan dinamis”.
Seruan Amien tersebut perlu disahuti, termasuk kemungkinan-kemungkinan pemikiran baru seiring tantangan zaman yang terus berubah. Misalnya, perkembangan HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) yang bernilai produktif dan bisa diwariskan terus-menerus; temuan BJ Habibi atas bagian pesawat tertentu, dan atau orang yang menerima warisan materi yang sangat banyak sehingga dari hasil warisan tersebut dapat hidup mewah tanpa harus bekerja dan berprofesi apapun. Menganggur alias tanpa profesi, tetapi bisa hidup bergelimang harta kekayaan. Dalam kaitan ini, mungkin perlu penafsiran baru yang jauh lebih progresif.   
Progresifitas tindakan Umar bin Khatab ketika berani mengubah kepemilikan tanah di Irak dan Mesir setelah negeri itu dikuasai oleh pasukan Islam menjadi inspirasi para pembaharu di kemudian hari. Zaman Nabi tanah-tanah yang dikuasai melalui peperangan diserahkan kepada prajurit penakluk. Umar memerintahkan agar tanah itu tetap dikuasai dan digarap oleh rakyat yang dikalahkan. Sebuah pertimbangan jauh ke depan, menegakkan prinsip keadilan, dan tindakan berpijak pada landasan etik Al-Quran. Seiring perubahan-perubahan besar dalam dunia perekonomian dan percepatan akumulasi kapital bisa jadi kekayaan di bumi ini hanya dikuasai oleh segelintir konglomerat saja. Di sebelah lain, sebagian besar manusia kesulitan untuk sekedar bertahan hidup dan menjalani kehidupan secara manusiawi dengan ketersediaan sandang, pangan dan papan. Dalam kaitan ini, pemahaman zakat progresif dan dinamis bisa menjadi titik masuk untuk berijtihad sesuai prinsip keadilan dan keseimbangan kehidupan dapat berkelanjutan.
Pemahaman baru belum tentu mampu menggerakkan muzaki untuk mengimplementasikannya sesuai dengan gagasan itu. Agar manusia masuk kategori muttaqin, pertama-tama yang harus dimiliki iman, ”percaya pada yang ghaib”, kemudian mendirikan shalat dan menunaikan zakat  (QS Al-Baqarah:2). Dari ayat ini Kuntowijoyo (1993:167) melihat adanya trilogi iman-shalat-zakat, dalam formulasi lain juga ada trilogi iman-ilmu-amal. Dari situ Kuntowijoyo selanjutnya, menyimpulkan bahwa iman berujung pada aksi. Tauhid harus diaktualisasikan: pusat keimanan Islam memang Allah tetapi ujung aktualisasinya adalah manusia.
Setelah mendiskusikan besaran dan persentase zakat yang harus diambil dari muzaki, masalah berikutnya yang juga tidak kalah penting adalah lembaga-lembaga yang menanganinya mulai dari mengumpulkan sampai mendistribusikannya kepada para mustahik.

Akuntabilitas Pengelola Zakat
Setelah kalah dalam pemilihan walikota, salah seorang calon ditanyai oleh sahabatnya tentang uang yang digunakan untuk biaya kampanye. Dengan santai dan nada bergurau ia mengatakan: ”bahwa uang yang jumlahnya tidak sedikit tersebut merupakan zakat politik”. Jalan pikiran ini tentu kedengarannya islamis, tetapi tidak dapat dibenarkan, karena ia mengeluarkan sejumlah uang dengan mengharap imbalan suara. Ini artinya, pengelola zakat seharusnya bukan partai politik atau lembaga yang secara ideologis merupakan pendukung partai tertentu. Karena uang yang dikelola mudah jatuh untuk kepentingan-kepentingan kepartaian, yaitu sebagai alat untuk memperluas basis konstituen. Umat Islam harus paham terhadap lembaga pengelola zakat yang mau dititipi uang zakatnya, jangan sampai jatuh ke tangan mereka. Alih-alih untuk pemberdayaan umat, malah digunakan untuk berkampanye dan membesarkan partai. Masalah ini perlu mendapat penekanan karena memang belakangan ini tumbuh subur lembaga-lembaga pengelola zakat, tidak terkecuali yang beraroma kepartaian (Bamualim & Abu Bakar, 2005).
Hampir setiap menjelang Idul Fitri kita mendengar, membaca, dan melihat pemandangan yang menyedihkan. Ribuan orang berdesak-desakan sampai beberapa orang pingsan untuk berebut zakat mal dari seorang pengusaha dan atau pejabat publik. Tentu kita tidak menginginkan peristiwa itu terulang. Warga miskin mempertaruhkan jiwanya untuk mendapatkan sedikit uang (antara 10 ribu sampai 25 ribu rupiah). Dalam kaitan ini muzaki yang ingin langsung membagikan zakatnya kepada mustahik (orang yang berhak menerima zakat) perlu ada koordinasi dengan pemuka masyarakat dan lembaga pengelola zakat setempat sehingga benar-benar tepat sasaran. Pilihan untuk langsung membagikan uang zakat kepada para mustahik diperbolehkan. Bisa jadi lebih mantap karena menentukan sendiri siapa-siapa yang akan menerimanya. Tapi bisa jadi karena kurang percaya dengan akuntabilitas lembaga-lembaga pengelola zakat.
Tumbuh suburnya lembaga-lembaga pengelola zakat belakangan ini cukup menggembirakan. Menggembirakan karena pertanda iklim dan kesadaran beragama umat Islam meningkat. Saat ini lembaga pengelola zakat ada yang dibuat pemerintah mulai dari pusat sampai kecamatan, organisasi sosial keagamaan, lembaga atau yayasan yang secara khusus menangani zakat. Yang perlu diperhatikan oleh lembaga-lembaga pengelola zakat adalah masalah akuntabilitas dan transparansi keuangan. Ini penting karena terkait dengan kepercayaan umat, termasuk presentase anggaran untuk pembiayaan lembaga. Jika sampai terjadi, misalnya, sebuah lembaga pengelola zakat melakukan korupsi atau manipulasi keuangan akan hancur kepercayaan umat. Mungkin hanya satu atau dua lembaga zakat yang bertindak demikian, tetapi tetap akan meruntuhkan sendi-sendi kepercayaan umat terhadap lembaga Islam dan menggoyahkan psikologi kebergamaannya. Untuk memagari penyimpangan, perlu audit rutin terhadap lembaga-lembaga pengelola zakat.
Pengelolaan zakat model Putukrejo, kecamatan Malang Selatan, kabupaten Malang, propinsi Jawa Timur bisa menjadi contoh pelaksanaan inovasi zakat. Pertama, pengelola zakat melibatkan ulama, umaro, dan tokoh masyarakat setempat; kedua, pemanfaatan uang zakat digunakan untuk pembangunan desa, seperti jalan, sekolah, masjid-mushala, renovasi rumah warga; ketiga, untuk penduduk yang memerlukan sandang dan pangan juga dianggarkan dari dana tersebut; keempat, keputusan yang diambil (peruntukannya) berdasarkan musyawarah para pengelola. Uang zakat bisa benar-benar fungsional untuk pemberdayaan masyarakat sehingga mereka dapat membangun desanya secara mandiri (Ali,1987). Kalau setiap desa bisa memiliki lembaga pengelalo zakat demikian dan fungsinya untuk pembangunan desanya dan pemberdayaan masyarakat, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang sehat, cukup sandang pangan papan, dan cerdas. Tiap daerah dapat menjaga dan ngopeni penduduknya yang tergolong mustahik. Mungkin ada kendala bagi non-Muslim, tugas kita adalah melakukan obyektifikasi ajaran zakat baik secara teoritis maupun empiris. Misalnya, terbukti bahwa praktek zakat secara kongkrit dapat meningkatkan kebaikan umum dan kehidupan yang lebih baik. Penjelasan dan bukti-bukti tersebut bisa diterima oleh non-Muslim. 
Lembaga pengelola zakat bertugas mengambil dan mengumpulkan zakat dari para muzaki (orang yang wajib zakat) bukan untuk membesarkan lembaganya, tetapi harus disalurkan kepada orang yang memang berhak menerima zakat. Dalam Al-Quran surat At-Taubah:60, dijelaskan tentang ketentuan-ketentuan pembagian zakat. Berikut kami rekamkan terjemahnya:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah... 
   
Berdasarkan pemahaman terhadap ayat tersebut, sekarang sudah berkembang model-model pelayanan sosial yang berasal dari uang zakat, seperti pengadaan mobil jenazah gratis, paket bersalin gratis – di samping model-model lain seperti panti asuhan, rumah jompo, mencukupi sandang dan pangan, biaya sekolah untuk fakir miskin. Jalan Allah (Fi sabilillah) menurut keterangan catatan kaki di terjemahan itu juga mencakup untuk kepentingan umum, seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. Dengan kata lain, pemanfaatan zakat (progresif) untuk pengembangan pendidikan memiliki sandaran yang kuat dalam Al-Quran. Bagaimana implementasinya di lapangan? Mengapa masalah pengembangan pendidikan perlu memperoleh perhatian dan pembiayaan memadai dari dana zakat? Bagaimana kaitan peningkatan mutu pendidikan dengan penguatan kapasitas umat dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi?   

Mutu Pendidikan Rendah
Tesis Sidi Gazalba (1970) mungkin benar, bahwa pendidikan adalah masalah terbesar kurun kini yang menentukan nasib umat Islam (dan bangsa) di masa depan. Rendahnya kualitas umat Islam saat ini merupakan produk pendidikan generasi terdahulu. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas umat Islam di masa mendatang mulai detik ini juga harus ada usaha serius dan kongkrit untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sejurus dengan tesis Gazalba, dapat kita saksikan kiprah tokoh-tokoh pembaharu sosial-budaya ataupun keagamaan yang selalu menawarkan model pendidikan baru. Melalui sistem pendidikan model baru akan melahirkan manusia-manusia yang berjiwa pembaruan, atau minimal hasilnya berbeda dengan model pendidikan konvensional. Digaris ini dapat kita saksikan kiprah nama-nama pembaharu yang sangat populer, seperti Leo Tolstoy di Rusia merintis ”pendidikan karakter”, Paulo Freire di Brasil mempraktekan ”pendidikan pembebasan”, KH Ahmad Dahlan mengenalkan ”pendidikan progresif” dan Ki Hadjar Dewantara menawarkan ”pendidikan budaya” di bumi Indonisa. Bahkan pembaharu Islam mutakhir pun memilih jalur yang sama, seperti Nurcholis Madjid dengan perguruan Paramadina dan Madania, dan Jalaluddin Rakhmat dengan sekolah Muthahari.
Meminjam istilah Prof. Moch. Sholeh YAI, ruh suatu peradaban adalah ilmu, teknologi merupakan jasad dan ilmu adalah jantungnya. Ini artinya maju dan mundur sebuah peradaban sangat bergantung pada tingkat penguasaan iptek dan mutu pendidikan. Celakanya negara-negara Muslim terlempar dari pusat pengembangan ilmu, dan kualitas pendidikannya berada di urutan paling bawah dalam peta kekuatan negara bangsa. Karena posisinya berada di belakang buritan peradaban, maka lebih senang mengekor peradaban-peradan lain yang lebih maju. Pilihan ini jelas bukan strategi cerdas yang alih-alih dapat meraih kemajuan malah justru dapat mengancam identitasnya. Kegelisahan demikian sangat dirasakan oleh para intelektual Muslim. Sajjad Husain dan Ali Ashraf (1986) menggambarkan kegamangan dunia Islam dengan kalimat berikut ini.    
Kaum Muslim di seluruh dunia saat ini sedang melewati suatu tahapan kritik dan evaluasi diri. Mereka sadar bahwa sebagian besar negara Muslim meliputi daerah sepanjang Maroko sampai Indonesia telah secara sadar menganut sistem pendidikan Barat demi memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern sehingga mereka bisa maju secara material. Pendekatan sistem pendidikan ini bersifat sekuler, mengingat bahwa asumsi-asumsi dasar di balik ilmu pengetahuan alam, terapan dan ilmu sosial tidak disimpulkan dari sumber-sumber keagamaan, tetapi sebaliknya. Justru terjauhkan dari sumber-sumber keagamaan tersebut .

Kondisi Indonesia, negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, tidak jauh berbeda. Bahkan, situasinya mungkin lebih memprihatinkan. Sekedar ilustrasi, pendidikan di Indonesia diselenggarakan oleh swasta dan pemerintah. Posisi lembaga-lembaga pendidikan Islam baik yang diselenggarakan oleh pemerintah (baca:madrasah negeri atau UIN/IAIN/STAIN) maupun swasta yang berupa pesantren, madrasah, dan sekolah/perguruan tinggi kualitasnya rata-rata berada di urutan buncit. Menjadi perguruan kelas dua. Rendahnya mutu pendidikan Islam pada akhirnya tidak mampu menghasilkan sumber daya manusia yang unggul sehingga selalu kalah dalam setiap persaingan. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa mutu pendidikan Islam itu rendah? Apakah karena umat Islam tidak bisa mengelola pendidikan? Atau, karena tidak tersedia tenaga profesional yang handal? Atau umat Islam memang miskin sehingga tidak mampu membiayai lembaga pendidikan yang unggul. Atau karena tidak tersedia teori-teori pendidikan yang bercorak Islam.
Menurut Ahmad Tafsir, ada dua faktor utama yang menyebabkan mutu pendidikan Islam itu rendah, yaitu kekeliruan umat Islam dalam memahami ajaran agama dan belum tersedianya teori-teori pendidikan Islam. Marilah kita cermati pendapat Tafsir berikut ini.
Kesimpulan saya sekarang tegas: umat Islam tidak miskin, rendahnya mutu sekolah Islam bukan karena umat Islam Indonesia miskin; melainkan karena ada yang masih harus dibenahi dalam pola pemikiran umat Islam. Yang harus dibenahi itu ialah kira-kira ini. (1) Hendaknya mendahulukan yang wajib dan membelakangkan yang sunat. (2) lebih memperhatikan mutu sekolah Islam karena mutu sekolah iti menentukan mutu umat Islam, dan mutu Indonesia. (3) Etos ekonomi hendaknya diubah; keuntungan jangan seluruhnya diberikan kepada orang lain; umat Islam masih memerlukan uang anda. Sampai di sini saya merasa telah menemukan sesuatu yang penting, menyangkut mutu sekolah Islam. Akan tetapi, saya berpikir terus jangan-jangan masih ada penyebab lain. Ternyata masih ada, dan ini justru yang paling menentukan, yaitu pengelola sekolah, kepala sekolah dan guru sekolah Islam belum memiliki teori-teori pendidikan modern dan islami (Tafsir,1994:3).

Bertolak dari penjelasan Tafsir tersebut dapat kita tarik sebuah hipotesis tentatif, bahwa rendahnya mutu pendidikan Islam disebabkan dua faktor, yaitu lemahnya pemahaman umat tentang tata kelola keuangan dalam menentukan skala prioritas, dan belum tersedianya payung teori sebagai pedoman operasionalisas pendidikan.
Tambahan, menurut penulis, tenaga kependidikan tidak memiliki gairah mendidih untuk memajukan dunia pendidikan. Sebagian besar dari mereka adalah bukan tenaga profesional yang menekuni profesi pendidik sebagai suatu panggilan hidup. Hanya memiliki kemampuan pas-pasan, dan mengajar adalah lahan untuk mencari nafkah. Guru atau dosen kemudian identik dengan ”tukang” mengajar sehingga mulai awal menjadi pengajar sampai pensiun kemampuannya tidak bertambah. Celakanya, satu-satunya jalan mengais nafkah adalah dengan cara mengajar. Akhirnya yang dilakukan adalah berebut jam mengajar sebanyak-banyaknya, kalau perlu ngobyek di Perguruan Tinggi atau sekolah lain. Padahal aktivitas pendidik adalah profesi yang harus mengusahakan diri meningkatkan kemampuannya terus-menerus sehingga menjadi pendidik profesional.
Kondisi lembaga pendidikan Islam, khususnya perguruan tinggi diperparah dengan kebijakan atau kultur akademiknya. Minat dosen untuk melakukan riset sangat rendah, tidak tahu apakah karena kurang memiliki kemampuan atau sedikitnya biaya yang disediakan. Menjadi pengawas ujian mahasiswa lebih banyak mendatangkan uang dari pada susah-susah melakukan penelitian.     
Kalau permasalahan-permasalahan ini yang menjadi penyakit parah kaum Muslim sehingga mengantarkan dunia pendidikan Islam memasuki pusaran krisis, terus apa yang bisa kita dilakukan untuk mengatasinya? Tidak mudah memang, dari mana memulai dan bagaimana langkah-langkah yang ditempuh. Yang mendesak untuk dilakukan adalah bagaimana membangkitkan kesadaran kaum Muslim agar dapat memfokuskan energinya untuk menangani masalah pendidikan.

Alternatif Pembiayaan & Langkah Pengembangan Pendidikan
Pembahasan masalah pendidikan sebenarnya  bukan hanya bersentuhan dengan lembaga formal. Istilah pendidikan sebenarnya bukan hanya bermakna schooling, tapi juga bermakna learning society yaitu pengembangan diri dan satuan masyarakat (Muhadjir,2000:13). Namun tulisan ini hanya akan membicarakan pendidikan Islam formal, atau masalah dunia persekolahan-madrasah. 
Proses peremajaan sistem pendidikan formal dilakukan lewat dua jalur kegiatan, yaitu (1) mengangkat mutu pendidikan di sekolah-sekolah dan madrasah; dan (2) mendorong sekolah-sekolah dan madrasah mengantisipasikan persoalan-persoalan dan situasi-situasi yang diperhitungkan akan muncul di masa depan (Buchori,1989). Untuk mengembangkan pendidikan menurut A. Malik Fadjar (1998) dilakukan melalui dua langkah, yaitu (1) perencanaan yang baik dan tepat; dan (2) di dukung reset dan evaluasi atau Research and Development (R & D). Dua langkah untuk memajukan pendidikan adalah tugas yang sangat berat, dan tidak mungkin dapat dirampungkan kalau hanya dipikirkan dan ditangani oleh orang-orang yang berkecimpung di lapangan pendidikan. Perlu ijtihad kolektif dan kerja sama untuk mengatasi masalah keterpurukan pendidikan Islam.
Sekedar sumbangan pemikiran, menurut penulis secara kongkrit ada 4 (empat) langkah yang harus ditempuh untuk memajukan dan mengembangkan dunia pendidikan Islam. Keempat langkah ini dilakukan secara serempak dan bersifat interdependensi, dan mengundang seluruh komponen umat untuk turut serta dalam melakukan langkah-langkah tersebut.
Pertama, menjamin ketersediaan dana yang memadai untuk membiayai proses penyelenggaran pendidikan yang bermutu; mulai gaji yang murwat, fasilitas belajar memadai, sarana pergedungan, termasuk operasional lembaga riset. Yang jadi masalah, dari mana sumber keuangannya? Alternatif pembiayaan yang paling mungkin adalah dengan mengoptimalkan fungsi zakat progresif. Merujuk delapan asnaf yang berhak menerima zakat (QS At-Taubah:60), sedikitnya ada 4 (empat) asnaf yang bisa digunakan untuk pengembangan pendidikan, yaitu fakir-miskin (dalam makna luas tidak hanya kekurangan material tetapi juga kekurangan ilmu atau kebodohan), pengurus zakat (sekolah berinisiatif sebagai amil), dan fi sabilillah. Dengan demikian alokasi untuk pengembangan pendidikan menjadi lebih besar.
Kedua, seleksi tenaga kependidikan. Wibawa guru terkait rapat dengan mutu pendidikan, oleh karena itu menjadi tenaga pendidik harus melalui proses seleksi. Itu dimulai dari pembatasan jumlah penerimaan mahasiswa keguruan dan akreditasi ketat terhadap fakultas ilmu pendidikan, termasuk ketersediaan sekolah laboratorium. Kurikulum didesain sedemikian rupa sehingga terdiri atas 50% teori dan 50% praktek di sekolah. Dengan demikian calon mahasiswa yang tidak berbakat dan berminat menjadi guru sudah gugur di tengah jalan. Mungkin ada yang menyela, kalau jumlah mahasiswa dibatasi pemasukannya berkurang. Menyikapi hal ini, perlu ada sumber-sumber keuangan alternatif di luar SPP termasuk memanfaatkan dana zakat. Seleksi berikutnya ketika sudah menjadi guru, sekolah atau perguruan tinggi harus tetap berusaha meningkatkan profesionalisme guru. Dan guru yang tidak menunjukan prestasi kerja bagus diberhentikan sebagai sebagai pendidik, mungkin dia lebih cocok untuk profesi lain.
Ketiga, idealnya setiap lembaga pendidikan memiliki pusat riset. Sebab, riset dan evaluasi merupakan dua jurus empirical inquiry yang sanggup menjadi landasan pengembangan pendidikan secara bijak (Fadjar,1991:143). Pada tingkat mikro mekanisme riset dapat menjadi bahan evaluasi atas implementasi pembelajaran dan manajemen sehingga perbaikan/pembaruan lembaga akan terus terjadi secara berkelanjutan. Dalam jangka panjang riset dan evaluasi dapat memperkaya khasanah teori, atau bahkan melahirkan teori-teori pendidikan baru yang relevan. Masalah riset belum menjadi kebutuhan, masih sangat jarang lembaga pendidikan yang memiliki pusat riset, apalagi yang dikelola dengan baik. Hal ini terjadi karena orientasi penyelenggara pendidikan Islam rata berorientasi jangka pendek dan asal berjalan sudah puas, tidak muncul pandangan visioner. Di samping itu pusat riset memerlukan biaya yang tidak sedikit dan harus didukung tenaga ahli. Padahal secara finansial tidak menguntungkan, karenanya mereka diabaikan. Namun demikian, usaha pengembaangan pendidikan tidak akan mengalami perubahan yang berarti tanpa di dukung pusat riset. Oleh karena itulah perlu pendanaan ekstra untuk menopang keberlangsungan pusat riset, sekali lagi uang zakat bisa menjadi salah satu alternatif pembiayaan.
Terakhir, pengembangan jejaring pendidikan baik secara vertikal maupun horisontal dengan seluruh lembaga pendidikan di dunia ini. Jejaring horisontal diperlukan untuk menjaga stamina pembaruan, dengan melihat dan mengkaji lembaga lain secara otomatis kita berkaca tentang wajah lembaga kita. Nilai-nilai lebih itu bisa menjadi alternatif pengembangan lembaga. Jaringan vertikal berfungsi sebagai penguatan orientasi pengembangan lembaga; misalnya antara SD dengan perguruan tinggi. Keduanya bisa saling belajar dan memperkaya khasanah keilmuannya. Jejaring memerlukan mobilitas dan komunikasi, itu juga memerlukan pembiayaan.
Keempat langkah pengembangan pendidikan tersebut seluruhnya memerlukan biaya, dan jumlahnya tidak sedikit. Zakat progresif bisa menjadi alternatif pembiayaan dalam usaha pengembangan pendidikan Islam. Tujuan hukum Islam, tidak terkecuali ibadah zakat, memiliki tiga agenda (1) pendidikan pribadi bagi pelaku, (2) menegakkan keadilan, dan (3) memelihara kebaikan hidup (Basyir,2000:45-54). Ulama-ulama ahli fikih dalam menjelaskan masalah zakat menekankan dimensi pendidikan pribadi, ekonom akan melihatnya dari sudut penegakkan keadilan, praktisi pendidikan lebih menitikberatkan dimensi memelihara kebaikan hidup (Ikhsan).
Berdasarkan tiga tujuan zakat (hukum Islam) sebagaimana dijelaskan Ahmad Azhar Basyir tersebut, pendirian tulisan ini sangat jelas. Yaitu ingin melihat permasalahan zakat dari sudut pandang memelihara kebaikan hidup lewat jalur pendidikan. Kehidupan masyarakat (umat Islam) akan berjalan baik dan bersahaja apabila para warga atau penduduknya adalah orang-orang yang berilmu pengetahuan. ”Siapapun yang ingin meraih kehidupan bahagia di dunia maupun di akhirat harus memiliki ilmu”, sabda Nabi Muhammad SAW. Untuk melahirkan cendekiawan atau ulama yang berwibawa dan bermutu diperlukan sebuah lembaga pendidikan yang berkulitas unggul. Karena rata-rata lembaga pendidikan Islam mutunya rendah, maka diperlukan usaha-usaha pengembangan pendidikan. Langkah pengembangan pendidikan bisa berjalan lancar bila di dukung pendanaan yang memadai. Zakat progresif adalah salah satu sumber alternatif. Meningkatnya kualitas umat Islam, secara otomatis dapat mendekatkan Islam ideal dengan Islam sejarah. 


Daftar Pustaka


Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran. Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta:Depag,1979.

Ali, A Mukti. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta,Rajawali Pres, 191987.

Bamualim, Chaidar S. & Irfan Abu Bakar. Revitalisasi Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia. Jakarta:PBB UIN,2005.

Basyir, Ahmad Azhar. Pokok-pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam. Yogyakarta:UII Press,2000.

Buchori, Mochtar. ”Pendidikan Islam di Indonesia: Problem Masa Kini dan Perspektif Masa Depan” dlm Muntaha Ashari & Abdul Mun’im Shaleh (ed.). Islam Indonesia Menatap Masa Depan. Jakarta:P3M,1989.

Fadjar, A. Malik. Visi Pembaruan Pendidikan Islam. Jakarta:LP3NI,1998.

Fadjar, Abdullah. ”Strategi Pengembangan Pendidikan Islam Melalui Riset” dlm Muslih Usa (ed.). Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta:Tiara Wacana,1991.

Gazalba, Sidi. Pendidikan Umat Islam. Jakarta:Bhratara,1970.

Husain, Sajjad & Ali Ashraf. Krisis Pendidikan Islam. Terjemahan Rahmani Astuti. Bandung: Risalah,1986.

Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung:Mizan,1993 Cet IV.

Muhadjir, Noeng. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. Yogyakarta:Rake Sarasin,2000.

Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedi Al-Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Jakarta: Paramadina,1996 Cet I.

Rais, M. Amien. Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta. Bandung:Mizan,1999 Cet. X.

Rakhmat, Jalaluddin. Islam Aktual: Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim. Bandung:Mizan,1992 Cet IV.

Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung:Rosdakarya,1994.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar